Hareee gini, hidup kudus?
Hidup kudus? Maksud ‘loh? Kayak orang-orang yang nggak pernah bersentuhan dengan dunia luar itu? Dalai lama di Tibet sono kaleee? Nggak pacaran? Nggak Clubbing? Nggak gaul? Nggak TTM? Nggak bisa ngapa-ngapain? Buseeeettt....? Emang ‘mau hidup kayak jaman nenek moyang? Nggak janji deh...!!
Jawaban ini bukan hanya berasal dari orang-orang yang kutemui, teman-teman baru, adikku, tetapi bahkan dari dalam diriku sendiri. Waktu aku serius mempertanyakan “hidup kudus” yang harus kujalani di jaman sekarang.
Apa sih kekudusan? Apakah sekedar tidak pacaran? Tidak melakukan kissing, necking, petting, dan sejenisnya? Tidak melakukan hubungan seks di luar nikah? Tidak ngomong ‘jorok’? Tidak nonton pornografi? Tidak masturbasi? Dan tidak, tidak, tidak lainnya lagi...
Jika berbicara soal fakta, maka orang akan berbicara lain (dengan catatan jika sungguh-sungguh berani mengatakannya). Orang bisa terlihat bagus, bersemangat, penuh visi, penuh urapan, penuh kreativitas dan juga berlabel lahir baru, tetapi sungguhkah kehidupan kekudusan ada di dalam dirinya? Ini tidak menunjuk kepada seorangpun, tetapi tertuju kepada diriku sendiri!!
"Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?" "Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Tuhan yang menyelamatkan dia. Itulah angkatan orang-orang yang menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu, ya Tuhan Yakub."(Mazmur 24:3-6)
Aku sendiri, ingin memaksimalkan hidup lebih lagi di dalam Tuhan. Ingin berbuah, ingin bertumbuh, ingin lebih dan lebih dan lebih lagi. Disamping semua tuntutan tanggung jawab yang juga harus bertumbuh, ada dasar yang tak boleh kulupakan sama sekali, yaitu kekudusan. Karena semakin aku bertumbuh, semakin kusadari bahwa dasar itu pelan namun pasti terlupakan juga olehku. Aku merasa sudah bisa, aku merasa kuat, aku merasa mampu, aku merasa... merasa... dan merasa.... dan melupakan dasar kehidupan dan hubungan dengan Kristus yaitu kekudusan.
Ada banyak ayat yang bisa kutemukan di Alkitab tentang kekudusan, dan salah satunya sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus (1 Petrus 1:16). Syarat untuk datang kepada Tuhan sudah sangat jelas. Apapun tafsiran orang, bagiku itu suatu perintah yang tidak bisa disanggah oleh siapapun yang mengaku dirinya pengikut Kristus.
Bisakah aku hidup kudus? Bisakah aku tidak menjamah apa yang najis? Bisakah aku mengendalikan keinginan daging yang seringkali menggebu? Sanggupkah aku menjaga mataku, pikiranku, hatiku untuk tidak tergoda tawaran daging dan dunia? Sanggupkah aku berkuasa atas ‘diriku’ sendiri dan segala hawa nafsunya? Sedangkan aku sendiri tahu dan menyadari ‘kejahatan’ yang terkandung di dalam diriku? Sedangkan kemunafikanku seringkali membentuk topeng tebal kekristenan? Sedangkan kakiku lebih cenderung menyimpang ke arah yang berlawanan dengan kehendakNya?
Ahhhh, namun aku juga menyadari, kalau kekudusan tidak semudah perkataan atau pengertian yang aku dapatkan. Aku bisa berbicara sampai berbusa-busa tentang kekudusan, tentang artinya, tentang berbagai cara untuk hidup kudus, tapi jika segala sesuatunya dikembalikan kepada setiap hati apakah aku juga mampu berbicara ‘lugas dan terbuka’ seperti ini.
Yeremia 17:9 menuliskan, Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?
Semakin aku menanjak, semakin aku naik tinggi di gunung Tuhan, semakin aku menyadari besarnya kejahatan dalam diriku yang kadangkala muncul dan melintas begitu saja. Dan saat itu aku juga semakin sadar bahwa aku sangat mudah untuk tergelincir dalam dosa dan kejatuhan yang bisa berakibat fatal. Detik demi detik yang berlalu pun bisa membawaku dalam kebinasaan kekal.
Menuliskan ini, mengatakan hal ini, memikirkannya, merenungkannya, semakin membuatku ‘ketakutan’. Bukan ‘ketakutan’ yang aneh atau bagaimana, tetapi ‘ketakutan’ karena tanpa pertolongan dan anugerah Tuhan, maka aku tidak akan mampu melewati masa mudaku ini dengan hidup dalam kekudusan.
Kurenungkan kisah-kisah kejatuhan orang-orang besar di Alkitab dan aku makin merasakan ‘kengerian’ di dalam hatiku. Bagaimana aku bisa menjaga hidupku kudus di tengah angkatan yang jahat dan bengkok hatinya ini. Bagaimana aku bisa terhindar dari pencemaran dunia ini? Bagaimana aku bisa menjaga langkahku? Bagaimana aku bisa menjaga mataku? Bagaimana aku bisa menjaga pikiranku? Tidak ada!! Aku manusia biasa, bersentuhan dengan dunia, menghirup udara dosa, dan ada di bumi yang penuh dengan kejahatan.
Oleh anugerah, semua hanya oleh anugerah, itu jawaban yang biasa aku dengar. Aku tidak puas! Anugerah terkadang menjadi sesuatu ‘sempit’ dan murahan untuk diperkatakan. Oleh anugerah, seharusnya kita tidak lagi menjamah dosa. Oleh anugerah, seharusnya kita mampu berkuasa atas dosa. Oleh anugerah, seharusnya kita melawan hawa nafsu dan keinginannya. Oleh anugerah, seharusnya kita menjadi orang-orang hidup tanpa kompromi dengan dunia. Oleh anugerah, seharusnya kita menjungkirbalikkan dunia ini dengan Injil. Oleh anugerah, seharusnya menjadi orang-orang pemenang dan tentara Tuhan yang gagah perkasa.
Kututup catatanku hari ini dengan perintah Tuhan yang tertulis Efesus 4:17-24, Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Tuhan dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Tuhan, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran. Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar mengenal Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Tuhan di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.
Dan menyadari, bahwa aku membutuhkanNya lebih dari sebelumnya. Dan kali ini bukan hanya karena alasan pemimpinku mengatakan ini dan itu soal kekudusan, tetapi karena kekudusan adalah sebuah komitmen yang aku buat di hadapan Tuhan. Kekudusan adalah satu-satunya jalan untuk bisa ‘sampai’ kepada Tuhan. Kekudusan adalah harga mati untuk setiap orang yang menyebut diri sebagai umatNya, anak-anakNya, sahabat-sahabatNya, dan calon mempelai yang tidak bercacat kerut. Dan hanya oleh anugerahNya, aku bisa dan mampu hidup kudus tak bercela.
Itu saja!!
0 comments:
Post a Comment
Post a Comment
Hi sahabat, tengkyu banget udah mau komentar... ayo semangat!!