Suatu Saat
Aku melemparkan pandanganku sejauh mungkin. Aku menyukai titik tempat aku berdiri sekarang. Kotaku terlihat padat oleh bangunan, perbukitan hijau yang mulai tergerus jalan, laut yang tidak bertepi, bahkan kapal-kapal yang serupa titik-titik kecil tak berarti.
Inilah hidupku sekarang, di suatu tempat, di suatu saat.
Tantangan, resiko, kesulitan, masalah seolah membayangi dan melekat erat enggan terlepaskan.
Kemarahanku, kekesalanku, tercampur begitu saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Dan… ingatanku terhempas di kilasan-kilasan waktu.
1996, Agustus. Amarah, sisa pemberontakan remaja. Terbuang, menyendiri di suatu tempat. Hingga seseorang mememelukku, menerimaku, menginginkanku, mengasihi sepenuhnya, mengubahkan, menjadikan baru, tanpa syarat. Kristus!
1999, … sekejap, semua sahabat rebah dan terhilang, tapi tak akan kutinggalkan panggilan mulia Kristus demi alasan apapun!
2000, Aku membuang setiap kenangan kebohongan yang menyakitkan. Butuh waktu panjang untuk membebaskanku dari kesombongan dan kebodohan yang membutakan mata dan menutup hatiku. Pengalaman dan pelajaran berharga di satu masa kehidupan.
2004. Kulewati kota demi kota, ku ceritakan kebaikan dan anugerahNya yang sangat besar kepada banyak orang. Orang-orang yang datang kepada Kristus, mata yang kembali bercahaya, senyum indah yang kembali terkembang, pengharapan yang kembali menyala. Ah… saat yang menakjubkan, sukacita tak terlukiskan, yang sampai hari ini kuinginkan terjadi lebih dari apapun dan terus kuhidupi, lagi dan lagi dan lagi… di setiap tempat yang kuinjak, di setiap hati yang kutemui.
2007, April. Berdua, di atas kapal, di suatu selat. Untuk sesaat aku tak lagi mengerti arti amarah, takut, kuatir. Begitu kosong dan hampa petualangan ini. Kemewahan palsu, idealisme semu. Aku dan sahabatku hanya mampu menatap kegelapan lautan, deburan ombak, hijaunya perbukitan, putihnya pasir, birunya langit, kerasnya hembusan angin, dalam diam. Tak ada kata, hanya mata yang bicara dan bisikan pelan, “Kita tak tahu esok hari, tapi kita pasti bisa lewati ini”
2007, Juni. Sendiri, di RS Jakarta. Aku marah, sangat marah, hingga kuteriakkan ketakutanku di antara cengkeraman tali-tali maut, “Aku tidak mau mati sekarang! Tidak akan!!” Aku bangkit dan hidup.
2007, Oktober. Sendiri. Di lantai 15, suatu tempat di Jalan Sudirman Jakarta. Tersakiti oleh kompromi, terluka di nurani. Tidak sebanding semua kemunafikan ini dengan panggilan kudus yang setiap waktu mengetuk kedalaman jiwaku. Dan aku memutuskan untuk berbalik arah tanpa menoleh lagi ke belakang.
2009, Februari – Mei. Tak terhitung panjangnya malam demi malam yang kuhabiskan tidur sendirian di bangku plastik keras lorong rumah sakit. Tanpa teman, lelah, dingin, gelap, aroma menakutkan menjadi sahabatku di setiap detiknya. Meneguhkan hati, menguatkan jiwa bagi orang-orang yang kucintai yang bergantian dirawat. Tak ada sanggahan, tak ada amarah, “Aku sangat menyayangi kalian, tidak akan kubiarkan satu orangpun mengambil kalian dari padaku, akan kulewati semua ini, akan kubayar harganya, suatu saat ini pasti berakhir” bisikku tanpa kata-kata di larut malam.
2010, Februari – April . Semua kembali datang, permainan emosi, benturan demi benturan, kesulitan, tapi semua terlewati.
2010, Mei. Aku di pindah tugaskan ke suatu tempat yang dihindari banyak orang, termasuk aku sebelumnya. Naik ke tempat tertinggi, tetapi turun di tempat terendah. Sulit bagiku mempercayai kenyataan kalau kehidupan membawaku ke arah yang tidak pernah kuinginkan. Remuk, hancur, dan amat sangat marah! Aku telah memasang hukum pembatas dengannya, kudus - tidak kudus, baik - tidak baik, kini… aku berada tepat diatasnya. Keangkuhanku, kesombonganku, kembali diuji untuk diruntuhkan selamanya.
Pertanyaan demi pertanyaan memenuhiku: Apakah maksudNya? Tantangan, jebakan, atau kesempatan? Membunuh atau menghidupkan? Apakah aku akan berhenti? Berbalik arah? Atau… berjalan terus? Sanggupkah aku membayar harganya? Mampukah aku memikul konsekuensinya? Jika Dia membawaku ke suatu tempat yang orang katakan ‘tempat yang penuh perbuatan dosa'' sanggupkah aku tetap hidup kudus tanpa harus tercemar olehnya? Apa yang orang akan katakan tentang aku dan pekerjaan baruku? Tetap tertujukah mataku kepada tujuan utama panggilan lebih dari apapun yang mampu kulihat, kuraba bahkan kusentuh? Adakah rencana besar di balik semua? Lebih dari itu, kutemuikah seseorang yang berharga bagiNya disini, sehingga dia harus membawaku?
Lalu, jika semua jawabanku adalah tidak yakin, pertanyaan terakhir begitu menghantamku, Sungguhkah aku memiliki kasih bagi yang terhilang dan berdosa, seperti yang biasa kukatakan? Ahhhhh… aku telah menjadi pengikut Kristus yang palsu dan munafik. Berbicara tentang keberanian namun takut pada ‘dunia’. Berbicara tentang kuasa, namun hidup tanpa kuasa. Berbicara tentang kekudusan, namun tidak yakin pada kekudusan. Berbicara tentang keselamatan, namun enggan untuk berjalan untuk menyelamatkan. Berbicara tentang tujuan hidup namun sejatinya bimbang menjalani kehidupan. Parahnya, aku melupakan hal terbesar yang diberikanNya untuk dunia yaitu kasih karunia bagi manusia.
Tiba-tiba, aku tahu… aku mengerti… DIA, YESUS KRISTUS sebagai manusia daging pernah melewati jalan yang sama, dan DIA berhasil. Aku, bukan DIA, dan saat ini aku membutuhkanNYA.
Aku … masih ada di sini, di titik tempat aku berdiri, memandang lepas ke depan, ke kotaku di bawah sana, ke perbukitan, ke laut yang membentang. Ke suatu masa, suatu saat, tempat mimpi menjadi nyata, tanya akan terjawab, dan aku telah melewati semuanya!
Esok matahari akan datang, hari akan berganti membawa warna baru yang memberi keindahan di lukisan jiwa.
Aku, masih harus terus berjalan ke satu arah. Hingga, sampai ke suatu saat… suatu masa…
Berikutnya!
0 comments:
Post a Comment
Post a Comment
Hi sahabat, tengkyu banget udah mau komentar... ayo semangat!!