Wednesday, May 12, 2010

Menanti Matahari




Sudah 2 hari ini aku tak melihat matahari terbit, ngilu di kaki karena osteoporosis membuatku sulit berjalan dan melangkah. Aku merindukan sinar matahari terbit yang hangat dan membuat hatiku tenteram.

Dengan langkah tertatih, aku sampai di teras rumah, merasakan hangatnya matahari, mendengarkan gonggongan anjing milik kami, dan menyaksikan para tetangga yang sedang berolah raga.

Perumahan kami terletak di lereng bukit dengan jalan menurun, hawa sejuk, dan rimbun pepohonan, meskipun semua sudah jauh berkurang karena pembangunan kota. Aku menyukai pemandangan ini lebih dari apapun di dunia ini, di saat ini.

Seorang gadis muda, bersemangat, tersenyum membawakan baki sarapan pagiku. Seorang anak dari suatu masa, namun sangat aku sayangi. Dia telah bertumbuh menjadi orang yang kuat dan sanggup melewati kehidupan.

Seorang wanita muncul dari balik pintu, tersenyum lebar, mohon pamit kepadaku untuk berangkat mengajar. Wanita yang hebat, yang telah melalui tragedy dan kegelapan paling pekat di hidupnya, tetapi melanjutkan perjalanannya.

***
Matahari masih berwarna seperti kuning telor asin, namun cahayanya yang hangat mulai terasa nyaman di seluruh tubuhku yang semakin ringkih dan menua.

Aku kembali memperhatikan gadis muda yang meneruskan pekerjaannya merawat tanaman- tanaman itu, senyumnya terkembang melihat tanaman anggreknya berbunga. Disentuhnya bunga-bunga itu dengan lembut sambil berbisik, “Cantik sekali kamu….”

Aku tidak heran melihatnya berbisik dan mengajak bicara tanaman dan bunga-bunga, sudah sejak kecil dia melakukannya, aneh, lucu, dan sulit dipahami.

Delapan puluh dua tahun telah berlalu, aku tak pernah tahu kapan roda kehidupanku terhenti. Bosan, tertekan, sensitive menguasai hari-hariku sekarang. Aku takut merepotkan dan membebani orang-orang yang kusayangi ini.

***

Matahari baik sekali hari ini, dia bermurah hati memberikan limpahan cahayanya.

Aku masih sendirian, di halaman depan rumah, diatas kursi taman. Aku memperhatikan kaki yang telah membawaku melintasi jalanan berbagai kota.

Ingatanku melayang jauh, berpuluh tahun ketika aku menjalani hari-hari yang penuh suka duka. Petualangan, kesulitan, tantangan, tragedi-tragedi, cinta dan jbahagia, menjalani hari-hariku di berbagai tempat, berbagai pekerjaan dari yang kasar sampai kepada pengabdian. Semua telah kulalui, dan sekarang aku telah menjadi renta.

Orang-orang yang menghancurkanku, menyakitiku, membuatku terluka telah terlebih dahulu pulang ke hadapan Tuhan. Aku tak pernah menangisi mereka.

Aku menatap matahari yang mulai naik, kuucapkan doa bagi anak-anak yang kusayangi, bagi cucu, bahkan buyutku. Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku.

“Eh… kenapa nangis?” tiba-tiba suara gadis muda itu menyadarkanku dari lamunan

“Aku ini merepotkanmu, kenapa aku tak mati-mati saja ya…? Bagaimana jika aku masih hidup lama?” Entah berapa kali kuucapkan pertanyaan ini kepadanya

“Lama atau sebentar bukan urusan kita. Bersyukurlah kepada Tuhan Yesus untuk hidup kita hari ini, karena setiap detik itu anugerah, matahari yang diberikanNya tiap pagi itu juga anugerah” kata-katanya selalu singkat, penghiburannya sederhana, sentuhan tangannya selalu membuat hatiku terasa hangat

***
Kuarahkan pandanganku ke timur, kembali menatap matahari…

Mencoba mensyukuri kehangatan matahari yang masih kutemui hari ini, esok dan entah sampai kapan… karena suatu hari nanti mungkin aku tak akan bertemu dengannya lagi,...

**************
Catatan tiga generasi:
1. Menanti Matahari

0 comments:

Post a Comment

Hi sahabat, tengkyu banget udah mau komentar... ayo semangat!!

Radio Worship

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP